Home » , , , , » Penegakan Hukum Daging Sapi Glonggongan

Penegakan Hukum Daging Sapi Glonggongan

Written By Unknown on Jumat, 07 Desember 2012 | 10.00

A. Daging Sapi Glonggongan

Daging sapi glonggongan adalah daging hasil pemotongan ternak sapi potong yang mmemiliki kadar air yang cukup tunggi akibat dari konsumsi air pada sapi yang berlebihan yang dilakukan dengan cara dipaksa (diglonggong). Menurut Murhadi (2009), sapi glonggongan adalah sapi yang diberikan minum sampai lemas sebelum dilakukan pemotongan. Daging glonggongan adalah daging yang berasal dari sapi yang sesaat sebelum disembelih diberi minum sebanyak-banyaknya untuk menambah berat daging. Karakteristik dari daging sapi glonggongan adalah sebagai berikut:

  1. Warnanya pucat kebiruan (daging yang masih baik berwarna merah terang dan lemaknya berwarna kekuningan).
  2. Kandungan air sangat tinggi sekitar 10% dari daging normal.
  3. Kondisinya agak rapuh sehingga tidak bisa dijadikan sejumlah produk olahan, seperti bakso.
  4. Hanya dapat bertahan selama 7-8 jam saja.
  5. Biasanya harganya lebih murah.
  6. Biasanya cara penjualan daging glonggongan tidak digantung

Gambar 1. Daging Segar

  Gambar 2. Daging Glonggongan

Proses pengglonggongan yang dilakukan adalah pertama diawali dengan meletakkan kaki depan sapi lebih tinggi dibandingkan dengan kaki belakang. Setelah sapi dalam posisi demikian, mulut sapi dimasuki selang sampai kedalaman 1,5 meter. Selang yang telah masuk tersebut kemudian dialiri dengan air. Banyaknya air yang di masukkan ke dalam tubuh sapi antara 30-40 liter setiap ekor sapi.

Gambar 3. Proses Pengglonggongan Sapi Hidup

B. Penegakan Hukum Daging Sapi Glonggongan 

Pangan asal ternak/hewani memiliki nilai gizi yang tinggi, terutama kandungan protein, asam amino, lemak laktosa, mineral dan vitamin . Tetapi seperti produk pertanian pada umumnya, produk hewani ini juga bersifat mudah rusak dan busuk terutama di daerah tropis dan lembab seperti Indonesia karena mikroorganisme cepat berkembang biak . Apalagi pangan asal hewan juga termasuk produk pangan yang berpotensi berbahaya (potentially hazardous foods) karena merupakan salah satu media pembawa bibit penyakit dan sumber penyakit zoonosis . Sehingga jika produk hewani tersebut rusak maka tidak akan aman untuk kesehatan dan dikonsumsi . Untuk itu faktor kualitas bahan pangan perlu mendapat perhatian terutama faktor keamanan produk (food safety). Kualitas bahan pangan asal ternak harus memperhatikan asas Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).
Aman berarti bahan pangan tersebut tidak mengandung bahan biologik, kimia dan fisik yang dapat menyebabkan penyakit serta mengganggu kesehatan manusia. Sehat berarti memiliki unsurunsur yang dibutuhkan dan berguna bagi kesehatan serta pertumbuhan tubuh. Utuh berarti tidak bercampur dengan bagian lain dari hewan dan sesuai dengan deskripsi yang ada pada label produk. Sedangkan halal berarti bahwa bahan pangan tersebut berasal dari ternak yang dipotong dan ditangani sesuai dengan syariat agam Islam (Ditjen Peternakan, 2007).Maraknya peredaran produk hewani yang tidak aman ini dipicu oleh adanya kecenderungan masyarakat untuk membeli produk berharga murah tanpa memperhatikan kualitasnya. Disamping itu penegakan terhadap pelaksanaan aturan-aturan yang terkait dengan pengawasan pangan dalam rangka perlindungan masyarakat seperti UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, belum sepenuhnya dilakukan.
UU No. 23 tahun 1992 pasal 31 ayat 1 “Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan”  pada ayat 3 dijelaskan bahwa “Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan  pasal 4 ayat 1 tertulis “Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau per-edaran pangan”. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bab IV pasal 1 menyatakan bahwa “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan”. Pada bab 1 pasal 12 PP No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan menyatakan bahwa “Setiap orang yang memproduksi  angan dengan menggunakan bahan tambahan pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan”.
Barangsiapa melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan yang ditulis pada  UU No. 7 tahun 1996 bab X pasal 55 dapat dihukum dengan hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Kenyataan di lapangan peraturan perundang-undangan yang telah disahka ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Padahal masyarakat pasti menginginkan dapat melakukan aktifitas hidupnya dengan aman terlepas dari rasa kekhawatiran termasuk dalam hal memilih bahan pangan yang sehat.
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan asal hewan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Anonimus, 2004). Kemanan pangan dipengaruhi oleh segala proses yang terjadi dalam mata rantai produksi. Kontaminasi dapat terjadi pada setiap proses mulai dari peternakan, saat panen/pemotongan, pemerahan susu, industri pengolahan, transportasi, pengecer dan konsumen (thaiir et al ., 2005). Termasuk dalam kategori pangan asal ternak yang tercemar adalah apabila pangan tersebut.

C. Strategi Penanganan Produk Pangan Hewani

Pemerintah telah menerbitkan undang-undang tentang pengawasan produk asal hewan yaitu Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Oleh karena itu pemerintah baik di Pusat maupun daerah perlu selalu berkoordinasi melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk pangan. Untuk itu Pemda melalui dinas-dinasnya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya perlu melakukan upaya yang terus menerus untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan pemahaman dan perlindungan kepada konsumen dalam hal keamanan pangan.
Proses keamanan pangan (daging) harus dilakukan sedini mungkin, yakni mulai dari peternakan (farm) hingga dikonsumsi (di meja makan). Dengan demikian kelayakan Rumah Potong Hewan (RPH) yang mampu menyediakan daging yang memenuhi persyaratan teknis higienis dan sanitasi patut dicermati. Dalam mendirikan RPH, walaupun cukup sederhana dan tidak menggunakan peralatan yang canggih serta mahal, yang terpenting adalah teknik pemotongan atau proses pemotongannya tetap halal dan memenuhi aspek kesehatan. Proses pemotongan hewan yang berlangsung dengan lancar, teratur, dan memenuhi syarat kesehatan akan menghasilkan kualitas karkas dan hasil sampingan yang baik dan halal.
Untuk penjaminan halal diperlukan pemotong yang beragama Islam dan memahami aturan penyembelihan secara Islam yaitu: membaca Bismillahi Allahuakbar, menggunakan pisau yang tajam, memotong bagian leher sehingga memutus jalan pakan, nafas dan pembuluh darah sekitamya, membiarkan darah keluar sempurna dan mati sempuma sebelum proses berikutnya.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Dunia Peternakan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger